Pada
hari Jumat, 1 Mei 2015, saya bersama teman-teman fotografi mengadakan trip ke
Pagerjurang. Pagerjurang merupakan sentra gerabah yang terletak di Pagerjurang
Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pertama, kami berkumpul di sekolah,
lalu di sekolah, kami berangkat sekitar jam 7 lebih. Lalu, kami sampai di
Pagerjurang sekitar jam 8.
Selama
di Pagerjurang, kami dipandu oleh seorang bapak bernama Pak Tri. Beliau juga
salah satu pengrajin gerabah di Pagerjurang. Membuat gerabah merupakan
keseharian warga Desa Pagerjurang, Membuat gerabah juga merupakan pekerjaan
warga Pagerjurang. Jika ada pesanan, warga akan berbagi tugas. Misal, membuat
guci akan dilakukan warga di rumah A, membuat cangkir dilakukan oleh warga di
rumah B, dll. Kami diajak berkeliling desa dan mengunjungi beberapa rumah warga
yang juga pengrajin gerabah. Kami juga
diajak untuk melihat bagaimana cara mengasah gerabah agar mengilat dan
menghaluskan permukaan gerabah. Dalam membuat gerabah, ada beberapa alat dan
bahan yang digunakan dalam membuat gerabah. Alat yang digunakan ada alat
pemutar, alat pengukir, dll. Lalu, kami berkunjung ke rumah selanjutnya. Di
sana kami juga melihat hasil pembuatan wajan, piring, dll. Selanjutnya, kami
melihat cara pembuatan guci. Di sana juga terdapat hasil dari pembuatan anglo.
Beberapa gerabah yang masih basah.
Tanah di Pagerjurang lebih kuat dibanding tanah Kasongan dll. Tanah ini memiliki struktur tanah yang padat sehingga tidak mudah pecah bila digunakan. Bahan
yang digunakan sebagai pencapur tanah liat adalah tanah merah. Tanah merah yang
digunakan di Desa Pagerjurang diambil dari tanah-tanah yang terdapat di bagian atas bukit.
Ada juga tanah yang dapat dimakan, tanah itu dinamakan tanah ampo. Kata Pak Tri, tanah ampo dapat dimakan, itu pun juga
tidak berbahaya/beracun.
Gerabah ditutup dengan plastik. Plastik yang digunakan ada 2
jenis, plastik yang tebal dan plastik yang tipis. Plastik yang tebal lebih
bagus digunakan. Plastik digunakan untuk menahan suhu dari gerabah guna menjaga
kualitas dari gerabah. Jika plastik di buka, terdapat titik-titik air seperti
embun, ini terjadi karena penguapan yang terjadi karena kandungan air dalam
gerabah. Setelah kering, gerabah
dilap menggunakan kain agar terlihat mengilat.
Setelah
berkeliling dan memotret, kami diajak untuk membuat gerabah. Pertama, kami
dijelaskan tentang macam-macam cara/posisi dalam membuat gerabah. Contohnya:
putaran tegak, putaran miring, cetak.
Cara mengolah tanah adalah pertama ambil bahan dari
galian, cari tempat yang agak luas, lalu beri campuran air dan pasir, berikan
sesuai takaran. Masukkan ke mesin giling guna menghancurkan tanah yang masih
keras dan batu supaya menjadi halus. Untuk mendapatkan tanah yang bagus, dimasukkan ke mesin
giling selama 3-4x. Lebih banyak menggiling, hasil yang didapat lebih bagus.
Metode
yang digunakan dalam. Untuk cara pembuatan gerabah putar, pertama ambil tanah liat lalu “dikeplok” supaya ulet, bulat adonan, lalu di
“plotot”/ditarik, lalu dibentuk/”ngurut”. Letakkan tanah liat di atas keramik/papan
alas. Putar alat pemutar sambil
memukul dan membentuk supaya berbentuk lingkaran tebal. Ini digunakan sebagai
alas gerabah.Lalu, beri tumpukan tanah liat untuk bagian penyusun gerabah
hingga berbentuk kerangka. Jika sudah membuat kerangka, ratakan bibir gerabah menggunakan
kawat, ini dilakukan dengan alas yang berputar. Lalu, beri air agar mudah
dibentuk. Angkat papan dan keringkan. Pengeringan dilakukan selama lebih dari 3
hari. Gerabah ini dikeringkan sampai betul-betul kering. Jika sudah, bakar
gerabah agar menjadi padat dan gerabah bisa dijual.
Pembakaran dilakukan selama 15 jam. Pertama, di depan
mulut tungku sekitar 9 jam dalam api kecil, lalu 4 jam api besar, dan 2 jam
pengasapan.
Kami juga diajak melihat cara pembuatan putaran miring.
Putaran miring ini dilakukan oleh istri pak Tri yang bernama Ibu Nani. Ibu Nani sudah 17 tahun
bekerja sebagai pengrajin gerabah putaran miring. Ibu Nani meneruskan generasi
dari ibunya. Ibu Nani mulai membuat sekitar tahun 1980. Awalnya Ibu Nani
belajar sendiri membuat gerabah, sepulang sekolah, beliau menggunakan alat
tersebut jika tidak sedang digunakan oleh ibunya. Hasil kerajinan pertama yang
dibuat Ibu Nani adalah celengan. Setelah menikah, suaminya bekerja di tempat
pembuatan keramik, lalu Ibu Nani bekerja bersama di rumah pribadinya. Dulu,
beliau membuat gerabah di rumah adiknya.
Penghasilan tergantung dari pesanan/cuaca. Dalam 1 bulan
jika dapat 2x membakar, bisa mendapat penghasilan sekitar 4.000.000 rupiah. Untuk
pengeluaran, biasanya sekitar 1.500.000 rupiah untuk membeli tanah, tanah bisa
digunakan selama 3 bulan. Pekerja di sekitar Pagerjurang biasanya dari
masyarakat sendiri. Untuk pemesanan saat hujan, mereka harus sukarela menunggu,
biasanya mereka menanyakan kepada Bu Nani. Biasanya pembuatan dibuat lebih,
guna sebagai pengganti gerabah yang pecah/kotor. Belum ada yang melakukan
pembatalan pemesanan. Ibu Nani memilih bekerja sebagai pengrajin gerabah demi
menjaga kelestarian dan meneruskan generasi nenek moyang.
Sejarah
putaran miring
Putaran miring pertama kali diperkenalkan oleh Sunan
Pandanaran. Professor Chitaru Kawasaki pernah datang ke Melikan untuk meneliti
tentang teknik putaran miring, karena di Melikan merupakan satu-satunya daerah
yang masih menggunakan teknik putaran miring. Beliau datang ke Melikan sekitar
tahun 1992. Professor Chitaru juga berjasa dalam mengembangkan teknik dan
desain gerabah yang dihasilkan.