Hari Sabtu tanggal 1 Mei 2015, saya dan
teman-teman dari ekskul fotografi Putra Bangsa mengunjungi desa gerabah, Desa
Pagerjurang Melikan. Desa ini lokasinya cukup terpencil. Berada di Bayat,
Klaten, Jawa Tengah.
Di desa ini terkenal dengan produksi gerabahnya.
Banyak wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara yang datang ke Desa
Pagerjurang untuk melihat secara langsung proses pembuatan gerabah.
Kami berangkat dari kampus satu naik mobil. Selama
ke Desa Pagerjurang, di pinggir jalan terdapat banyak toko penjual gerabah.
Mobil berhenti di sebuah rumah pembuat gerabah. Kami
bertemu Pak Tri. Pak Tri adalah seorang warga dan salah satu pembuat gerabah di
daerah Pagerjurang. Beliau yang akan memandu kami di Desa Pagerjurang.
Pertama, Pak Tri mengajak kami melihat tanah liat.
Tanah yang digunakan untuk membuat gerabah. Setelah itu, Pak Tri mengajak kami
mengunjungi sebuah rumah tempat pembuatan gerabah.
Di rumah itu, terdapat banyak gerabah. Gerabah
yang telah dipesan maupun yang untuk dijual.
“Kalau beli gerabah di sini, tempat pembuatan
gerabah langsung, harga gerabah akan lebih murah daripada beli di toko-toko gerabah
di pinggir jalan,” kata Pak Tri.
Kami berpencar untuk melihat gerabah – gerabah
yang ada di rumah itu. Saya memasuki sebuah ruangan. Ruang itu berisikan
gerabah – gerabah. Ukiran gerabah yang terlihat rumit dan bentuk perabotan yang
lumayan besar, tapi saat saya menanyakan harga, harganya lumayan murah.
Setelah melihat kami yang sudah cukup puas melihat
– lihat gerabah, Pak Tri meminta kami berkumpul. Beliau mulai menjelaskan
proses pembuatan bahan baku.
“Setelah kita mengambil bahan mentah dari galian,
kita tumpuk ke tempat yang agak luas, setelah itu dicampur dengan air dan pasir
dengan takaran tertentu, seusai keinginan. Setelah proses tadi selesai, kita
masukkan ke mesin giling. Kegunaannya untuk menghancurkan tanah – tanah yang
masih keras atau batu biar lemut dan halus. Untuk mendapatkan tanah yang halus,
dimasukkan ke molen sekitar tiga sampai empat kali. Lebih lama lebih bagus. Semakin
halus tanahnya, semakin bagus produknya,” jelas Pak Tri.
“Untuk keistimewaan tanah sini, mempunyai kekuatan
yang luar biasa. Jadi dibandingkan dengan tanah kasongan atau yang lain, di
sini ikatan tanah kuat, jadi tidak mudah pecah untuk ditempati atau dipegang
bisa tahan lebih lama. Dan tanahnya lebih keras, lebih padat,” lanjut Pak Tri.
Setalah cukup menjelaskan, Pak Tri mengajak kami
berkeliling desa ke rumah pembuat gerabah yang lain. Di rumah pembuat gerabah
selanjutnya, kami diberi tahu bahwa pada zaman dulu, nenek moyang kita memakan
tanah. Tanah yang disebut dengan “ampo”.
Kami juga dijelaskan tentang penutup plastik tipis
dan yang tebal. Plastik yang tipis lebih rapat dan tahan lama. Tapi kalau yang
tebal, sepuluh hari saja sudah kering.
Setelah kami puas mengambil gambar, kami
melanjutkan perjalanan lagi ke tempat pembuatan gerabah yang lain. Kami
keliling desa dan mendatangi setiap rumah pembuatan gerabah.
Menjelang siang hari, kami kembali ke rumah,
tempat pertama kali kami berkunjung dan melihat-lihat gerabah. Sampai di rumah
itu, Pak Tri mulai memperlihatkan bagaimana cara membuat gerabah.
Akhirnya, kami ingin mencoba membuat gerabah. Per
anak membuat satu gerabah. Bentuknya bebas. Sesuai keinginan kita masing –
masing.
Awal – awal pembentukan sulit. Karena tangan kita
harus terampil untuk membuat gerabah supaya bisa lebih rapi. Tangan satu untuk
memutar tempat pembuatan dan tangan lainnya untuk merapikan dan membentuk
gerabah.
Setelah beberapa kali tanahnya ambruk atau hancur,
akhirnya gerabah saya jadi walaupun bentuknya tidak karuan. Setelah jadi,
gerabah boleh dihias atau diukir.
Kemudian kami mengistirahatkan diri barang
sejenak. Kami disuguhi makan siang, makanan ringan, dan minum. Karena sudah
siang, kami makan makanan yang telah disediakan.
Kami melanjutkan wawancara setelah istirahat
siang. Kami mewawancarai Bu Nanik, pemilik rumah tersebut.
Ibu Nanik menjelaskan bahwa beliau tidak
mendirikan tempat pembuatan gerabah tersebut, tetapi karena beliau melanjutkan
pembuatan gerabah yang didirikan oleh pendahulu – pendahulu beliau.
Bu Nanik bisa membuat gerabah karena sejak kecil
beliau sudah belajar sendiri, tidak diajari. Bu Nanik belajar membuat gerabah
dengan cetakan miring dari kelas empat SD sampai kelas 2 SMP baru bisa.
Penghasilan yang diperoleh tergantung dengan cuaca
dan pesanannya. Selama sebulan Bu Nanik bisa mendapat empat juta kalau bisa
membakar dua kali. Tapi kalau hanya bisa membakar satu kali paling tidak Bu
Nanik mendapat tiga sampai dua setengah juta.
Bu Nanik mengeluarkan satu setengah juta-an untuk
memperoleh tanah selama tiga bulan.
Saat cuaca hujan mengeringkan gerabahnya susah.
Bisa saja satu bulan lamanya Bu Nanik tidak membakar sama sekali. Biasanya
pembakarannya di tungku. Biasanya kalau api kecil di depan tungku, pembakaran
berlangsung selama sembilan jam, tapi kalau api besar hanya empat jam.
Para pekerja yang membuat gerabah murni orang
desa.
Bu Nanik lebih memilih menjadi pengrajin karena
Beliau ingin melestarikan budaya peninggalan nenek moyang. Akhir dari wawancara.
Setelah wawancara selesai, kami istirahat lagi dan
bersiap untuk pulang. Kami pamit kepada Pak Tri dan Bu Nanik.
Karena cuaca yang tidak mendukung, rencana awal
dibatalkan. Yang tadinya kami berencana ingin hunting
di Curug, akhirnya pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar